Selasa, 26 Oktober 2010

Manajemen Cinta


I. Pendahuluan
Bila kita berbicara masalah cinta, tidak akan habis waktu untuk membahasnya. Sayangnya bahasan cinta tidak jauh seputar masalah antar makhluk. Padahal bahasan cinta itu begitu luas, segala hubungan baik sesama makhluk maupun dengan sang pencipta dan juga segala kegiatan yang kita lakukan.
Cinta memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Fenomena yang terjadi sehari-hari mengungkapkan bahwa cinta dapat menjadi motivator aktivitas yang kita jalankan. Namun perlu juga kita sadari bahwa cinta dapat juga merusak aktivitas kita.
Oleh karena itu disadari atau tidak, cinta mempengaruhi kehidupan seseorang, baik cinta kepada Allah maupun bukan kepada Allah. Cinta bukan kepada Allah sering membawa kepada cinta buta yang tak terkendali sedangkan cinta kepada Allah akan membawa kepada ketenangan dan kedamaian. Cinta kepada makhluk membawa ketidakpastian, penasaran dan kesenangan semu. Cinta kepada Allah akan membawa keyakinan dan keabadian.
Cinta yang bukan karena Allah biasanya didasari oleh syahwat dan cinta kepada Allah didasari oleh iman. Syahwat akan mengendalikan diri kita dan bahkan bila kita memperturutkan syahwat dapat membahayakan kita. Oleh karena itu kita perlu mengetahui bagaimana mengelola cinta agar bahagia dunia dan akhirat.
Cinta erat kaitannya dengan amal/aktivitas. Amal tanpa cinta akan merusak amal yang dikerjakan, karena hanya akan menghasilkan rutinitas dan penghayatan yang semu. Namun sebaliknya apabila amal berdasarkan cinta akan menghasilkan amal saleh yang dihayati dengan mendalam. Ibadah kepada Allah perlu didasari kecintaan. Dengan adanya cinta kepada Allah maka kita akan rela dan ikhlas melaksanakan semua perintahnya bahkan rela berkorban jiwa dan harta.
II. Pembagian Cinta
1. Sesuai syariat
Cinta seorang mu’min lahir dari ketulusan imannya kepada Allah SWT. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya mesti diiringi nilai Islam yang benar. Kesalahan dalam mencintai Rasul akan membawa kepada taqlid yang membabi buta dan menimbulkan figuritas yang berlebihan bahkan cenderung menjadi tuhan baru.
Cinta berdasarkan syariat akan kekal, tidak saja terjadi di dunia tetapi akan berlanjut sampai di akhirat. Kasih sayang sebagai wujud dari cinta akan menghaluskan akhlaq dan melembutkan jiwa. Cinta yang sesuai syariah akan mengarahkan manusia untuk menyayangi yang lemah dan melindungi yang tua, mengajak kepada kebaikan dan menguatkan iman.
2. Tidak sesuai syariat
Cinta yang tidak sesuai dengan syariat berdasarkan atas keinginan syahwat. Cinta tanpa iman hanya memenuhi tuntutan syahwat semata (hawa nafsu). Cinta seperti ini tidak kekal dan biasanya bersifat materi. Cinta seperti ini hanya akan menyengsarakan manusia karena akan menggelincirkan manusia pada kehinaan dan penyesalan.
Namun satu hal perlu yang kita perhatikan adalah kecintaan pada syahwat (QS. Ali Imran (3) : 14) seperti wanita, anak, harta benda, binatang, ladang dan lain-lain dibenarkan keberadaannya oleh Allah karena kecintaan ini merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah agar cinta ini dapat membawa kita pada ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat yang perlu dilakukan ialah mengarahkan bahwa cinta ini perlu dikendalikan oleh syariat bukan dibunuh/dihilangkan. Dengan panduan syariat kecintaan yang bersifat syahwati akan menuntun pada kebahagiaan yang hakiki sedangkan tanpa syariat kecintaan syahwati ini akan membawa kesesatan dan kesengsaraan.
III. Tanda-tanda Cinta
1. Banyak mengingat yang dicintainya, (QS. Al Anfal (8) : 2)
2. Kagum
Kagum muncul karena adanya suatu kelebihan yang dilihatnya, apakah bersikap subjektif atau objektif. Kagum diawalai dengan mengenali sesuatu yang lebih dibandingkan dengan yang lain. (QS. Al Hasyr (59) : 24)
3. Ridha
Cinta menimbulkan keridhaan kepada yang dicintai apapun yang diperintahkan atau dilarang ia rela melakukannya. (QS. At Taubah (9) : 62)
4. Tadhhiyah (siap berkorban)
Cinta akan membuat kesiapan untuk berkorban demi kepentingan yang dicintainya. Ia akan membela habis-habisan sebagai wujud dari cintanya. (QS. Al Baqarah (2) : 207)
5. Takut
Ketakutan yang muncul dari cinta adalah dalam bentuk harap dan cemas berharap agar yang dicintainya ridho dan cemas bila yang dicintainya tidak ridho kepadanya. (QS. Al Anbiya (21) : 90)
6. Berharap
Cinta menumbuhkan harapan kepada yang dicintainya. (QS. Al Ahzab (33) : 80)
7. Taat
Bukti dari cinta adalah mentaati kepada yang dicintainya. (QS. An Nisaa (4) : 80)
Setelah memahami tanda-tanda cinta tersebut, diharapkan kita dapat membuat porsi-porsi yang tepat dalam mengelola cinta. Cinta yang menempati urutan pertama dan utama adalah cinta kepada Allah, dengan mencintai Allah kita akan mendapat berkah dan rahmat dari Allah karena Dialah penguasa sejati kita, pencipta kita. Setelah itu mencintai apa yang dicintai Allah yaitu Rasulullah SAW sebagai utusannya dan penerus risalah terakhir kepada manusia, terutama sesama muslim karena Allah telah mempersaudarakan umat muslim dimanapun mereka berada.
IV. Kisah-kisah Cinta
1. Seorang sahabat bernama Jabir secara fisik kata orang ia tidak ganteng dan secara ekonomi ia miskin. Ketika Rasul SAW menawarkannya untuk menikah, dia menyatakan kesediaan meskipun semula dia tidak yakin akan adanya orang tua yang akan menikahkan putrinya kepadanya. Dan ternyata Rasul SAW mempertemukan dirinya dengan seorang wanita yang tak hanya sholehah, tapi juga cantik dan keturunan bangsawan. Tapi beberapa hari sesudah pernikahan, bahkan kata orang suasananya masih suasana pengantin baru, ketika datang panggilan jihad, maka tak segan-segan dia mendaftarkan diri kepada Rasul SAW untuk menjadi pasukan perang, lalu ia betul-betul berangkat ke medan jihad hingga  syahid.
2. Kisah kaum Anshor menyambut muhajirin
Ketika Rasulullah telah berhijrah, beliau mempersaudarakan antara kaum Muhajiri dan kaum Anshor, di rumah Anas bin Malik. Mereka saling memberikan hak waris setelah kematiannya, sedangkan kaum kerabatnya tidak menerima hak waris tersebut, hal ini berlaku sampai turun surat Al Anfal ayat 75.
Selain itu Rasulullah SAW juga mempersaudarakan Abdur Rahman bin Auf dan Sa’ad bin Ar-Rabi. Sa’ad bin Ar-Rabi berkata kepada Abdur Rahman : “Aku termasuk orang Anshor yang mempunyai banyak harta. Harta itu akan kubagi dua, setengah untuk anda dan setengah untuk aku, aku mempunyai dua orang isteri, lihatlah mana yang anda pandang paling menarik. Sebutkan namanya, dia akan segera aku cerai. Setelah habis masa iddahnya Anda kupersilahkan menikahinya. Abdur Rahman menjawab: “Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan Anda. Tunjukkan saja kepadaku, dimanakah pasar kota kalian?.
Kaum Anshor berkata kepada Nabi SAW, “Bagikanlah pohon kurma di antara kami dan ikhwan kami”. Beliau berkata, “Tidak”. Kaum Muhajirin berkata, “Kalian memenuhi kebutuhan kami dan kami ikut bekerja bersama kalian dalam mengurus buah itu”, kaum Anshor berkata, “Kami dengar dan taat”.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kaum Anshor sangat ramah terhadap saudara mereka, kaum Muhajirin. Sangat tampak sikap rela berkorban, mengutamakan orang lain dan cinta kasih kaum Anshor. Sedangkan kaum Muhajirin sangat menghargai keikhlasan budi kaum Anshor. Mereka tidak menggunakan hal itu segai kesempatan untuk kepentingan yang bukan pada tempatnya. Mereka hanya mau menerima bantuan dari kaum Anshor sesuai dengan jerih payah yang mereka curahkan di dalam suatu pekerjaan.
Sungguh persaudaraan itu merupakan suatu kebijakan yang unik dan tepat, serta dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum muslimin.
V. Hadits tentang Cinta
1. “Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah itu ada beberapa orang yang bukan golongan nabi dan syuhada, namun para nabi dan syuhada menginginkan keadaan seperti mereka, karena kedudukannya di sisi Allah. Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah tolong beritahu kami siapa mereka?” Rasulullah SAW menjawab : “mereka adalah satu kaum yang cinta mencintai dengan ruh Allah tanpa ada hubungan sanak saudara, kerabat diantara mereka serta tidak adak hubunga harta benda yang terdapat pada mereka. Maka demi Allah wajah-wajah mereka sungguh bercahaya, sedang mereka tidak takut apa-apa dikala orang lain takut dan mereka tidak berduka cita dikala orang lain berduka cita”. (HR. Abu Daud)
2. “Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya yang muslim, lalu ia memegang tangannnya (berjabatan tangan) gugurlah dosa-dosa keduanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon kering jika ditiup angin kencang. Sungguh diampuni dosa mereka berdua, meski sebanyak buih dilaut”. (HR. Tabrani)
3. “Sesungguhnya Allah SWT pada hari kiamat berfirman: “Dimanakah orang yang cinta mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi dihari yang tiada naungan melainkan naungan-Ku”. (HR. Muslim)
4. “Allah SWT berfirman: “Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang cinta- mencintai karena Aku, saling kunjung mengunjungi karena Aku dan saling memberi karena Aku”. (Hadits Qudsi)
5. “Bahwa seseorang mengunjungi saudaranya di desa lain, lalu Allah mengutus malaikat untuk membuntutinya. Tatkala malaikat menemaninya, ia berkata: “Kau mau kemana?” Ia menjawab: “Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini. “Lalu malaikat bertanya: “Apakah kamu akan memberikan sesuatu kepada saudaramu?” Ia menjawab: “Tidak ada,  melainkan hanya aku mencintainya karena Allah SWT”. Malaikat berkata: “Sesungguhnya aku diutus Allah kepadamu, bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai orang tersebut karena-Nya”. (HR. Muslim)
6. “Tiga perkara, barangsiapa memilikinya memilikinya, ia dapat merasakan manisnya iman, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul melebihi cintanya kepada selain keduanya, cinta kepada seseorang kepada Allah dan membenci kekafiran sebagaimana ia tidak mau dicampakkan ke dalam api neraka”. (HR. Bukharim Muslim)
Referensi :
1. Riyadhu Asholihin, Imam Nawawi
2. Shiroh Nabawiyah, Syaikh Syaffiyyur Rahman Al Mubarakfury
3. Manajemen Cinta, Abdullah Nashih Ulwan
4. Materi Tutoring, FK UPN “Veteran” Jakarta
5. Materi Tutoring Agama Islam, SMUN 1 Bogor
6. Materi Khutbah Jum’at, Khairu Ummah
7. Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnu Qoyyim al Jauziyah

Pentingnya Pendidikan Islam


I. Pendahuluan
Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Untuk mengenalkan Islam ini diutus Rasulullah SAW. Tujuan utamanya adalah memperbaiki manusia untuk kembali kepada Allah SWT. Oleh karena itu selam kurang lebih 23 tahun Rasulullah SAW membina dan memperbaiki manusia melalui pendidikan. Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah SWT.
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seisinya.
Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11)
Bahkan syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.
Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang yang beakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.”
Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”
Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia butuh terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal ini digunakan untuk mendidik dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal penciptanya dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menggunakan metode pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan pendidikanlah manusia memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.
II. Pentingnya Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Tak heran bila kini pemerintah mewajibkan program belajar 9 tahun agar masyarakat menjadi pandai dan beradab. Pendidikan juga merupakan metode pendekatan yang sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki fase tahapan dalam pertumbuhan.
Pendidikan Islam memiliki 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu: tilawah (membacakan ayat Allah), tazkiyah (mensucikan jiwa) dan ta’limul kitab wa sunnah (mengajarkan al kitab dan al hikmah). Pendidikan dapat merubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik disebabkan pendidikan mempunyai kelebihan. Pendidikan mempunyai ciri pembentukan pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh, pemeliharaan apa yang telah dipelajarinya, pengembangan atas ilmu yang diperolehnya dan agar tetap pada rel syariah. Hasil dari pendidikan Islam akan membentuk jiwa yang tenang, akal yang cerdas dan fisik yang kuat serta banyak beramal.
Pendidikan Islam berpadu dalam pendidikan ruhiyah, fikriyah (pemahaman/pemikiran) dan amaliyah (aktivitas). Nilai Islam ditanamkan dalam individu membutuhkan tahpan-tahapan selanjutnya dikembangkan kepada pemberdayaan di segala sektor kehidupan manusia. Potensi yang dikembangkan kemudian diarahkan kepada pengaktualan potensi dengan memasuki berbagai bidang kehidupan. (QS. Ali Imran (3) : 103)
Pendidikan yang diajarkan Allah SWT melalui Rasul-Nya bersumber kepada Al Qur’an sebagai rujukan dan pendekatan agar dengan tarbiyah akan membentuk masyarakat yang sadar dan menjadikan Allah sebagai Ilah saja.
Kehidupan mereka akan selamat di dunia dan akhirat. Hasil ilmu yang diperolehnya adalah kenikmatan yang besar, yaitu berupa pengetahuan, harga diri, kekuatan dan persatuan.
Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah agar manusia memiliki gambaran tentang Islam yang jelas, utuh dan menyeluruh. 
Interaksi di dalam diri ini memberi pengaruh kepada penampilan, sikap, tingkah laku dan amalnya sehingga menghasilkan akhlaq yang baik. Akhlaq ini perlu dan harus dilatih melalui latihan membaca dan mengkaji Al Qur’an, sholat malam, shoum (puasa) sunnah, berhubungan kepada keluarga dan masyarakat. Semakin sering ia melakukan latihan, maka semakin banyak amalnya dan semakin mudah ia melakukan kebajikan. Selain itu latihan akan menghantarkan dirinya memiliki kebiasaan yang akhirnya menjadi gaya hidup sehari-hari.
III. Kesinambungan dalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dalam bahasa Arab disebut tarbiyah Islamiyah merupakan hak dan kewajiban dalam setiap insan yang ingin menyelamatkan dirinya di dunia dan akhirat. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai akhir hayat.” Maka menuntut ilmu untuk mendidik diri memahami Islam tidak ada istilah berhenti, semaki banyak ilmu yang kita peroleh maka kita bertanggung jawab untuk meneruskan kepada orang lain untuk mendapatkan kenikmatan berilmu, disinilah letak kesinambungan.
Selain merupakan kewajiban, kegiatan dididik dan mendidik adalah suatu usaha agar dapat memiliki ma’dzirah (alasan) untuk berlepas diri bila kelak diminta pertanggungjawaban di sisi Allah SWT yakni telah dilakukan usaha optimal untuk memperbaiki diri dan mengajak orang lain pada kebenaran sesuai manhaj yang diajarkan Rasulullah SAW.
Untuk menghasilkan Pendidikan Islam yang berkesinambungan maka dibutuhkan beberapa sarana, baik yang mendidik maupun yang dididik, yaitu:
1. Istiqomah
Setiap kita harus istiqomah terus belajar dan menggali ilmu Allah, tak ada kata tua dalam belajar, QS. Hud (11) : 112, QS. Al Kahfi (18) : 28
2. Disiplin dalam tanggung jawab
Dalam belajar tentu kita membutuhkan waktu untuk kegiatan tersebut. sekiranya salah satu dari kita tidak hadir, maka akan mengganggu proses belajar. Apabila kita sering bolos sekolah, apakah kita akan mendapatkan ilmu yang maksimal. Kita akan tertinggal dengan teman-teman kita, demikian pula dengan guru, apabila ia sering membolos tentu anak didiknya tidak akan maju karena pelajaran tidak bertambah.
3. Menyuruh memainkan peran dalam pendidikan
Setiap kita dituntut untuk memerankan diri sebagai seorang guru pada saat-saat tertentu, memerankan fungsi mengayomi, saat yang lainnya berperan sebagai teman. Demikiannya semua peran digunakan untuk memaksimalkan kegiatan pendidikan.
Referensi :
1. Tarbiyah Islamiyah Harokiyah, DR. Irwan Prayitno
2. Tarbiyah Menjawab Tantangan, Mahfudz Siddiq

Keutamaan Ilmu


I. Pendahuluan
Sesungguhnya ilmu adalah kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan adalah kematian dan kegelapan. Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman: “Apakah dapat disamakan orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.” (QS. Az Zumar (39) : 9). Allah SWT menolak menyamakan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu, sebagaimana Allah menolak menyamakan keburukan dengan kebaikan, orang buta dengan orang melihat, cahaya dengan kegelapan, naungan dengan hawa panas, penghuni neraka dengan penghuni surga, orang-orang beriman dengan orang-orang kafir dan orang-orang bertaqwa dengan orang-orang berdosa. Hal ini menunjukkan, bahwa kedudukan orang berilmu terhadap orang bodoh adalah seperti kedudukan cahaya terhadap kegelapan.
Semua kejahatan dan keburukan penyebabnya adalah tidak adanya kehidupan dan cahaya, dan semua kebaikan penyebabnya adalah cahaya dan kehidupan. Cahaya itu membongkar hakikat segala sesuatu dan menjelaskan peringatan-peringatannya, sedangkan kehidupan ia adalah pembimbing kepada sifat-sifat kesempurnaan, dan mengharuskan terbentuknya perkataan dan tindakan yang tepat (QS. Al An’am (6) : 122). Sehingga kebutuhan manusia kepada ilmu adalah kebutuhan primer melebihi kebutuhan badan kepada makanan, karena badan membutuhkan makanan dalam sehari hanya sekali atau dua kali, sedangkan kebutuhan manusia kepada ilmu sangat banyak sebanyak jumlah nafas, karena setiap nafasnya dibutuhkan iman atau hikmah. Jika nafasnya nihil dari iman dan hikmah, sungguh ia binasa, semakin dekat kematiannya dan tidak mendapatkan jalan untuk membebaskan diri kecuali dengan ilmu. Jadi kebutuhan manusia kepada ilmu lebih besar daripada kebutuhan badan kepada makanan dan minuman.
II. Keutamaan Ilmu
Ayat yang pertama kali diturunkan Allah Ta’ala dalam Al Qur’an adalah surat Al Alaq : 1-5. Di dalamnya Allah Ta’ala menyebutkan apa saja yang telah Dia anugerahkan kepada manusia seperti nikmat pengajaran apa yang tidak mereka ketahui, Allah Ta’ala menyebutkan di dalamnya karunia-Nya yaitu pengajaran-Nya, dan mengutamakan manusia dengan pengajaran yang Dia berikan kepada mereka. Ini menjadi bukti kemuliaan ilmu dan pengajaran.
Setiap orang pasti mengetahui keutamaan ilmu. Sesungguhnya manusia itu berbeda dari semua binatang yang ada dengan ilmu, akal dan pemahaman yang diberikan secara khusus kepadanya. Jika ia tidak mempunyai ilmu, akal dan pemahaman, maka yang tersisa padanya adalah kesamaan antara dirinya dengan seluruh binatang, yaitu sifat kebinatangan. Terhadap orang seperti itu, manusia tidak malu kepadanya dan tidak berhenti dari kejahatannya kendati orang tersebut ada di tengah-tengah mereka dan melihat mereka.
Allah SWT menampakkan keutamaan Adam as. daripada malaikat adalah karena ilmu, sehingga Allah menyuruh para malaikat agar sujud kepada Adam as.
Keutamaan  ilmu yang paling nyata adalah bahwa ilmu merupakan sarana untuk bertaqwa kepada Allah, dimana dengan taqwa manusia akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah yaitu surga kebahagiaan abadi. Abu Musa ra. berkata: Bersabda Nabi SAW: “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada saya bagaikan hujan yang turun ke tanah, maka sebagian ada yang subur (baik) dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan serta rumpun yang banyak sekali. Dan ada pula tanah yang keras menahan air, hingga berguna untuk minuman dan penyiram kebun tanaman; dan ada beberapa tanah hanya keras-kering tidak dapat menahan air dan tidak pula menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah contoh orang pandai di dalam agama Allah dan mempergunakan apa yang diberikan Allah kepadaku lalu mengajar, dan perumpamaan orang yang tidak dapat menerima petunjuk Allah yang telah ditugaskan kepadaku.” (HR. Bukhari  Muslim)
III. Klasifikasi Ilmu
1. Ilmu yang diwajibkan untuk setiap Individu (Fardhu ‘Ain)
a. Ilmu pengetahuan tentang prinsip keimana: Allah, Malaikat, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhir, Qodo dan Qodhar.
b. Ilmu pengetahuan tentang syariat-syariat Islam: Wudhu, Sholat, Zakat, Puasa, Haji.
c. Ilmu pengetahuan tentang hal yang diharamkan/dihalalkan: Babi, Riba, Judi, Bangkai, Darah.
d. Ilmu tentang kemasyarakatan: perdagangan, Pemerintahan, Administrasi Niaga.
2. Ilmu yang diwajibkan untuk Kelompok (Fardhu Kifayah)
Jika ada satu atau beberapa orang dari kelompok jama’ah telah memiliki ilmu dan melaksanakannya, maka yang lainnya tidak lagi dituntut untuk melaksanakannya. Namun jika tidak ada seorang pun yang memiliki ilmu tersebut dan tidak melaksanakannya, maka semua orang berdosa, terutama pemimpin mereka (ulil amri), contoh: ilmu kedokteran, ilmu kebidanan, ilmu jenazah, ilmu falak, ilmu komputer dan perkembangannya, dll.
3. Ilmu yang Tercela
Dikatakan tercela karena ilmu itu membawa kemudharatan bagi orang itu sendiri atau orang lain, contoh: ilmu tenung, sihir, santet, pelet, paranormal, peramal, dll.
IV. Penutup
Ilmu dan amal perbuatan yang utama di sisi Allah adalah yang terkait langsung dengan kebutuhan umat. Hal tersebut merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT serta bermanfaat bagi kemaslahatan ummat.
Referensi :
1. Buah Ilmu, Ibnu Qayyim Al Jauziyah
2. Belajar dan Etikanya, DR. Yusuf Qordhowi

Hukum Dalam Islam


I. Memahami Hukum Syariah
Memahami Islam tidak akan lengkap bila kita tidak mengetahui hukum-hukumnya. Melalui hukumlah aturan yang berasal dari nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan. Dalam Islam ada dua macam: hukum taklifi dan hukum wadh’I.
Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan/pekerjaan. Sebagai contoh: hukum yang menyangkut perintah seperti shalat, membayar zakat dll. Hukum wadh’I adalah hukum yang menyangkut sebab terjadinya sesuatu, syarat dan penghalang. Sebagai contoh: hukum waris.
II. Tujuan Hukum Syariah
Tujuan hukum syariah ada tiga macam, yaitu:
1. Pensucian jiwa, menjadikan muslim penyebar kebaikan bukan penyebab keburukan.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat baik dengan sesama muslim maupun non muslim.
3. Bermanfaat bagi seluruh alam semesta tidak hanya manusia.
III. Sumber Hukum
Sumber hukum dalam Islam ada lima, yaitu:
1. Al Qur’an
2. As Sunnah
3. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.
4. Fatwa sahabat
5. Qiyas
IV. Pembagian Hukum Taklifi
Berdasarkan jumhur ulama (pendapat mayoritas ulama), hukum terbagi menjadi lima macam, yaitu:
1. Wajib yaitu suatu perintah yang apabila tidak dilaksanakan berdosa. Wajib terbagi menjadi dua macam:
a. Wajib yang memiliki waktu yang luas disebut wajib muwassa. Keluasaan waktu itu memungkinkan kita untuk melaksanakan ibadah yang lain.
b. Wajib memiliki waktu yang terbatas disebut wajib mudhayyaq. Ibadah itu hanya dapat dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan dan tak dapat dilakukan diluar waktu tersebut. sebagai contoh puasa di bulan Ramadhan, ibadah haji di bulan Dzulhijah.
2. Sunnah yaitu perbuatan yang apabila dilaksanakan berpahala dan bila tidak dilaksanakan ia akan merugi walaupun tidak berdosa. Sunnah terbagi menjadi tiga macam:
a. Sunnah Muakkad, yaitu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, contoh shalat dua rakaat setelah shubuh.
b. Sunnah Ghairu Muakkad, yaitu sunnah yang dilakukan tidak secara kontinyu, contoh: shalat empat rakaat sebelum zhuhur.
c. Sunnah di bawah keduanya, yaitu kebiasaan yang dilakukan Rasulullah SAW seperti bersiwak (sikat gigi).
3. Mubah yaitu kebebasan bagi muslim untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau meninggalkannya. Contoh makan, minum, dsb.
4. Makruh yaitu suatu larangan secara syara terhadap suatu perbuatan namun tidak bersifat pasti karena tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut, meninggalkan perbuatan tersebut terpuji dan mengerjakannya tercela.
5. Haram yaitu larangan untuk melakukan suatu pekerjaan baik yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i dan zhonni.
Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bila ditinggalkan perbuatan itu pelakunya akan mendapat pahala dan bila dilaksanakan berdosa. Haram ada dua macam, yaitu:
a. Haram li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut terdapat pada perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh makan bangkai, minum khamr, berzina, dll.
b. Haram li-ghairi/aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syariat dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzatihi. Sebagai contoh jual beli memakai riba, melihat aurat wanita, dll.
Referensi :
1. Ushul Fiqih, Prof. Muhammad Abu Zahrah

Wanita Dalam Pandangan Islam


I. Pendahuluan
Wanita adalah sosok yang kerap kali menjadi perbincangan yang tiada habisnya. Sesuatu yang menyangkut wanita akan terus mendapat perhatian untuk dibicarakan. Bagi sebagian orang, wanita adalah masyarakat kelas dua. Ia tidak berhak untuk berpendapat bahkan mengurus dirinya sendiri. Semuanya diatur oleh laki-laki. Di satu sisi ada yang begitu memuja wanita. Hidup seakan mati tanpanya, segala yang dilakukannya adalah untuk wanita.
Disisi lain banyak para filosofis menganggap wanita sebagai biang keladi terjadinya berbagai bentuk bencana dan tindak kriminalitas di dunia. Negara hancur karena wanita. Seorang pangeran bahkan ada yang rela menanggalkan mahkotanya kerajaannya karena wanita. Pertikaian muncul akibat perebutan wanita. Bahkan muncul permasalahan dari kaum agama bahwa wanitalah yang menyebabkan Nabi Adam as. turun ke bumi. Wanita dianggap penyebab terjadinya dosa.
II. Pandangan Manusia Terhadap Wanita
Secara umum ada dua kelompok manusia dalam memandang wanita, yaitu:
a. Kelompok yang berbaik sangka kepada wanita, Seorang pujangga pernah berkata:
 Kaum wanita itu bagaikan minyak kesturi…
 Yang diciptakan untuk kita…
 Setiap kita tentu merasa senang mencium aromanya…
 Seorang ibu ibarat sekolah…
 Apabila kamu siapkan dengan baik…

Berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya…
 …Dibalik keberhasilan setiap Pemimpin ada wanita…
b. Kelompok yang menjadi musuh wanita, Pujangga lain berkata:
Kaum wanita itu bagaikan syaithan…
Yang diciptakan untuk kita…
Kita berlindung kepada Allah…
Bila ada kerusakan di bumi ini lihat wanitanya…
Satu hal yang perlu direnungi bersama adalah baik kelompok yang memuja maupun yang membencinya terkadang melakukan tindakan eksploitasi terhadap keberadaan wanita. Seringkali wanita tidak menyadari bahwa apakah dirinya dieksploitasi (dimanfaatkan) atau dimuliakan. Oleh karena itulah setiap muslim perlu mengetahui bagaimana Islam memperlakukan wanita. Berdasarkan lembaran sejarah, kita mengetahui bagaimana wanita dapat memiliki dirinya sendiri dan menyadari keberadaannya tidak hanya sebagai saudara dari laki-laki namun yang terpenting adalah hamba Allah SWT yang sama-sama menyembah Allah SWT.
Islamlah yang membebaskan wanita dari anggapan buruk terhina memiliki anak perempuan. Kisah Umar bin Khatab menjelaskan bagaimana budaya Arab jahiliyah terhadap wanita, sehingga ia rela menguburkan anak perempuannya agar tidak mendapat malu. Pada saat itu wanita menjadi harta warisan bila ayahnya wafat. Islam pulalah yang mengajarkan kedua orang tua untuk merawat dan mendidik anak perempuannya bila keduanya ingin masuk syurga.
III. Pandangan Islam Terhadap Wanita
Dalam Islam, wanita bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki. Sebaliknya wanita adalah bagian dari laki-laki demikian pula laki-laki adalah bagian dari wanita, keduanya bersifat saling melengkapi. (QS. Ali Imran (3) : 195)
Dalam Islam tidak pernah dibayangkan adanya pengurangan hak wanita atau penzhaliman wanita demi kepentingan laki-laki karena Islam adalah syariat yang diturunkan untuk laki-laki dan perempuan. Akan tetapi ada beberapa pemikiran keliru tentang wanita yang menyelusup ke dalam benak sekelompok umat Islam sehingga mereka senantiasa memiliki persepsi negatif terhadap watak dan peran wanita. Salah satu contohnya adalah perlarangan wanita keluar rumah untuk menuntut ilmu dan mendalami agama dengan alasan ada orang tua dan suami yang yang berhak dan berkewajiban mendidik serta memberikan pelajaran. Akibatnya mereka menghambat wanita dari pancaran ilmu pengetahuan dan memaksanya hidup dalam kegelapan dan kebodohan.
1. Laki-laki dan wanita dari asal yang sama, QS. An Nisaa’ (4) : 1
2. Tanggung jawab kemanusiaan seorang wanita, QS. Ali Imran (3) : 195
3. Pembebasan wanita dari kezhaliman jahiliyah, QS. An Nahl (16) : 58-59
4. Pembebasan wanita dari pengharaman hal yang baik pada masa jahiliyah. Seringkali wanita diharamkan untuk memakan sesuatu atau memiliki sesuatu. Ketika Islam datang maka pengharaman itu digugurkan, sehingga wanita memperoleh hak yang sama mengenai hal ini, QS. Al An’aam (6) : 139
5. Pembebasan dari harta warisan dan dalam perkawinan, QS. An Nisaa’ (4) : 19
6. Pembebasan dari buruknya hubungan keluarga akibat perkawinan. Pada masa jahiliyah, wanita yang telah menikah dengan bapaknya dapat diturunkan kepada anak yang dilahirkannya sehingga akan menimbulkan kerancuan dan kehancuran dalam keluarga namun setelah Islam datang semua itu diharamkan, QS. An Nisaa’ (4) : 22-23
7. Penegasan tentang karakteristik wanita muslimah :
a. Wanita dan pria memiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, QS. Al Lail (92) : 1-4
b. Menutup aurat
Bila kita mau merenungi dan mengambil hikmah dari perintah Allah kepada muslimah untuk menutup aurat pada dasarnya adalah menjaga dan melindungi wanita itu dari kemungkinan negatif dari pandangan manusia yang melihatnya serta menjaganya agar dapat aman beraktivitas, QS. An Nur (24) : 31
c. Mendapat balasan yang sama dengan laki-laki di akhirat, QS. Al Hadid (57) : 12
Referensi :
1. Kebebasan Wanita Jilid 1, DR. Yusuf Qordhowi dan Muhammad Al Ghazali
2. Jati Diri Wanita Muslimah, Musthofa Muhammad Thahhan

Santri dan Pesantren Dalam Lintasan Sejarah

Diskursus tentang pesantren maka yang terlintas dalam pikiran kita tentang berbagai komponennya, yakni kiai (ulama), santri (murid), pondok atau asrama, berbagai Kitab Kuning (al-kutub ash-shafrd'), dan tradisi-tradisi yang berlaku di dalamnya, seperti mengaji dengan sistem halaqah (tanpa mengenal kelas), sorogan, dan bandungan sebagai metode pengajaran
M. Arnin Abdullah mendeskripsikan bahwa, dalam berbagai variasinya, dunia pesantren merupakan pusat persemaian, pengamalan, dan sekaligus penyebaran ilmu-ilmu keislaman. Terlepas dari pertanyaan ihwal apakah lembaga pesantren merupakan karya budaya asli (indigeneous) Indonesia ataukah model kelembagaan Islam yang diimpor dari Mesir sebagaimana diisyaratkan oleh Martin van Bruinessen, yang jelas adalah bahwa pesantren pada awalnya lahir sebagai manifestasi dari bertemunya dua kemauan: semangat orang yang ingin menimba ilmu (santri) sebagai bekal hidupnya dan keikhlasan orang yang ingin mengamalkan ilmu dan pengalamannya kepada ummat, yakni kiai (Jawa), ajengan (Sunda), tengku (Aceh), syaikh (Jambi dan Sumatera Utara), dan sebutan-sebutan lain yang senada dan semakna. Secara fisik, wujud awal pesantren adalah sebuah tempat sholat (mushalla/langgar) yang biasa disebut oleh masyarakat Jawa dengan tajug atau langgar. Selain digunakan untuk salat berjamaah, tempat ini juga dimanfaatkan untuk tempat mengaji ilmu-ilmu keislaman berupa penguasaan bacaan dan tafsir Alquran, dan selanjutnya berkembang menuju kajian atas berbagai Kitab Kuning. Karena semakin bertambahnya santri yang menuntut ilmu, mushalla yang kecil itu diperluas dan akhirnya berubah status menjadi masjid. Tempat ini kemudian bertambah fungsi selain sebagai tempat sholat lima waktu dan berbagai aktivitas santri, juga sebagai tempat menunaikan ibadah sholat Jum’at.
Komunitas santri juga mengalami pertumbuhan. Awalnya, status mereka semuanya adalah santri kalong (tanpa menginap). Akan tetapi, karena pertambahan santri semakin hari semakin meningkat dan mereka tidak saja berasal dari daerah sekitar tempat tinggal kiai, yakni dari daerah-daerah yang jauh, maka dibutuhkanlah tempat penginapan. Mulanya, mereka ditempatkan di bagian masjid untuk sementara waktu. Kemudian secara bergotong-royong mereka membuat bilik-bilik yang selanjutnya disebut pondok (bahasa Arab: funduq berarti hotel, tempat menginap ). Akhirnya, jadilah sebuah lembaga yang disebut pondok pesantren. Tambahan kata "pesantren" merupakan kata benda bentukan dari kata santri yang mendapat awalan "pe-" dan akhiran "-an", "pesantrian." Menurut buku Babad Cirebon, "santri" berasal dari kata "chantrik," yang berarti orang yang sedang belajar kepada seorang guru. Kemudian, kata itu diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi "santri." Jadilah bentukan kata baru "pesantrian" (orang Jawa mengucapkannya "pesantren"). Dengan demikian, pesantren adalah sebuah tempat di mana para santri menginap dan menuntut ilmu (mathlab.).
Yang penting untuk dicatat di sini adalah penanaman nilai-nilai budaya dan tradisi pesantren yang menjadikan lembaga ini berhasil mencetak insan-insan bermoral (al-akhlaq al-karimah). Ciri dominan yang selalu menjadi acuan prinsipil dari tradisi pesantren adalah tertanamnya ajaran-ajaran yang termanifestasi dalam keikhlasan, ketulusan, kemandirian, kebersahajaan, dan keberanian. Semuanya itu merupakan karakteristik yang diteladankan dalam kehidupan sehari-hari oleh sang kiai kepada para santrinya. Sikap kiai ini melahirkan keseganan tersenditi di kalangan santri untuk bersikap sembrono (su' al-adab) kepada sang kiai. Dari sikap seperti inilah kemudian muncul sikap mengidolakan kiai dan tumbuhlah penghormatan yang kadang berlebihan kepada sang kiai. Perilaku semacam ini pulalah yang dilihat oleh orang luar sebagai sikap paternalistik-feodalistik, yang sebetulnya disebabkan oleh kharisma logis dari perilaku kiai di mata santrinya. (Rmi).

Total Tayangan Halaman

Mengenai Saya

Foto saya
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Al-istiqomah khoirun min 'alfi karomah...

Pengikut

Cari Blog Ini

القيمة الحقيقة للخيل

كلما زادة قرأت عن الخيل اجد فيه عظمة في خلقه وإحيائه للانسان علىالارض٫ ولربما كانت احدى قيمه التي اكتشفها ان فيه حفظ ورفعة لمكانت العرببالاخص حينما ارتبطوا بالخيل العربي الاصيل.

هذا حديث شريف وجدته وفيه قيمة عالية للخيل ومكانته:قال على بن أبي طالب رضي الله عنه: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:)لما أراد الله تعالى أن يخلق الخيل قال للريح الجنوب: إني خالق منك خلقاًفأجعله عزًّ الأوليائي، ومذلة لأعدائي، وحمى لأهل طاعتي، فقالت الريح:أخلق، فقبض منها قبضة فخلق فرساً، فقال له: سميتك فرساً، وخلقتك عربياً،وجعلت الخير معقوداً بناصيتك، والغنائم مَحُوزَة على ظهرك، والعز معكحيثما كنت، آثرتك على غيرك من الدواب، وجعلتك لها سيداً، وعطفت عليكصاحبك، وجعلتك تطير بلا جناح، فأنت للطلب، وأنت للهرب، وسأحمل على ظهركرجالاً يسبحوني ويكبروني ويهللوني، تسبح إذا سبحوا، وتهلل إذا هللوا،وتكبر إذا كبروا، قال: فليس من تسبيحه ولا تكبيرة ولا تهليلة يهللهاصاحبها فيسمعها إلا وتجيبه نمثلها.

ثم قال: فلما سمعت الملائكة صفة الفرسوعاينوا خَلقها، قالت : أيْ ربي! نحن ملائكتك نسبِّحك ونكبرك ونهللكفماذا لنا؟ فخلق الله للملائكة خيلاً بلقا، لها أعناق كأعناق البُخْت،أمدَّ بها من شاء من أنبيائه ورسله، أرسل الفَرَس إلى الأرض واستوت قدماهعليها صهل، فقال: بوركت من دابة! أُذلُّ بصهيلك المشركين، وأرعبُ بهقلوبهم، وأَملأ آذانهم، وأُذلُّ به أعناقهم، ثم لما عَرَض على آدم ما خلقمن شيء فسماه باسمه، وقال له: اختر من خلقي ما شئت، فاختار الفرس، فقالله: اخترتَ عزك وعز ولدك، خالداً ما خلدوا، وباقياً ما بقُوا؛ بركتي عليكوعليهم، ما خلقتُ خلقاً أحب إليّ ومنهم، ثم وسمه بغُرَّة وتحجيل، فصار ذلكمن لدنه

قال مؤلف كتاب الحيوان: الفرس من طبعه الزهو في المشي، ويحب سائسهويعجب راكبه، ولا يحب الأولاد، وهو غيور، ويعرف المصيبة. وذكر الأصمعي أنرجلاً معتوها جاء إلى أبي عمرو بن العلاء، فقال: يا أبا عمرو، لم سميتالخيل خيلاً؟ فبقي أبو عمرو ليس عنده فيها جواب، فقال: لا أدري! الرجل:لكني أدري! فقال علِّمنا نعلم! قال: لاختيالها في المشي، فقال أبو عمرولأصحابه بعد ما ولَّي الرجل: اكتبوا الحكمة وارووها عن معتوه

mengenalkan kepada santri tentang equestrian..:-)

anda bisa telusuri di situs2nya, diantaranya dibawah ini, dan tulisan ini juga dicopas dari situs ini..

sumber: http://q8khail.com/blog/?p=24#more-24